Pagi, 22 Maret 2016, terminal Bandara Brussel di Zaventem, Belgia, seperti biasa padat. Sejumlah calon penumpang bergegas menuju tempat check-in. Tiba-tiba sekitar jam 08.00 waktu setempat dua bom bunuh diri meledak hampir bersamaan di dekat departure gates. Ratusan orang terlempar. Sekitar satu jam kemudian bom lain mengguncang stasiun kereta Maelbeek, Brussell. Belgia pun genting. Negara tersebut meningkatkan kewaspadaannya hingga level tertinggi dengan kategori “serious and imminent attack”.
Bencana tersebut mengakibatkan lebih dari 30 orang meninggal dan korban luka lebih dari 270 orang. Pemerintah Belgia sendiri segera memerintahkan rumah sakit di sana untuk mengaktifkan Emergency Plan, yakni program siaga darurat bagi rumah sakit bersangkutan untuk menghadapi lonjakan jumlah pasien yang berasal dari korban bencana, termasuk akibat bencana serangan teroris seperti bom bunuh diri itu.
Dalam peristiswa tersebut diberitakan sebanyak 15 rumah sakit langsung mengaktifkan program emergency plan. Dokter dan perawat yang hari itu tidak bertugas dipanggil masuk kerja untuk menjamin penanganan pasien memadai dan tidak mengganggu pasien yang sudah ada. Penanganan korban di 15 rumah sakit itu sangat memadai dan berlangsung cepat. Palang Merah Belgia mengirimkan 30 ambulans ke dua lokasi tempat serangan bom dan menyediakan 30 ambulans lainnya dalam posisi siap siaga. Sekitar 100 profesional gawat darurat dipekerjakan khusus oleh Palang Merah Belgia untuk menangani korban serangan tersebut.
Sebagian korban tidak langsung dibawa ke rumah sakit, tetapi mendapat perawatan di tempat kejadian oleh tenaga medik terlatih untuk mempercepat penanganan, seperti untuk menghentikan pendarahan. Selain di trotoar, lobi Hotel Thon yang dekat lokasi ledakan di Stasiun Maelbeek dijadikan ruang perawatan korban sementara sekaligus sebagai triage centre. Bahkan staf hotel yang sudah terlatih mampu mulai melakukan triage dan memberikan first aid dengan sarana yang ada di hotel. Korban yang lukanya bisa ditangani di sana lebih dulu dirawat oleh tenaga medis dari emergency services di tempat tersebut sedangkan yang gawat dilarikan dengan ambulans ke rumah sakit terdekat.
Sebelumnya, pada 13 November 2015 Perancis mendapatkan serangan teroris melalui aksi bom bunuh diri yang menewaskan 129 orang dengan 352 orang luka. Selain bom bunuh diri, ada juga serangan tembakan terhadap warga Paris. Penembakan pertama terjadi di restoran Petit Cambodge yang menewaskan 15 orang dan melukai 10 orang. Disusul penembakan di bar A La Bonne Biere yang menewaskan lima orang dan melukai delapan orang. Yang paling banyak memakan korban adalah penembakan di gedung konser Bataclan yang sedang mementaskan grup band metal. Penembakan di sini menewaskan 89 orang dan menyebabkan beberapa terluka. Dari rentetan peristiwa itu, korban tewas mencapai 129 orang dan yang luka 352 orang (ada juga yang menyebutkan 368 orang luka). Melalui koordinasi yang baik pada akhirnya korban bisa ditangani rumah sakit di Paris.
Contoh lain yang bisa menjadi pelajaran adalah kejadian di Boston. Pada 15 April 2013 diselenggarakan lomba maraton di Boston, Amerika Serikat. Pada sekitar jam 15.00 waktu setempat, atau dua jam setelah pemenang melewati garis finish, dua ledakan bom meledak hampir bersamaan di dekat garis finish. Pada saat itu masih ada sekitar 5.700 pelari amatir yang belum masuk garis finish. Akibat ledakan bom itu tiga orang meninggal dan 264 orang lainnya terluka. Luka kebanyakan terjadi di kaki yang menandakan bom diletakkan di bawah. Akibat dari kejadian itu banyak korban yang kehilangan kakinya baik di tempat kejadian maupun karena harus diamputasi di rumah sakit.
Menurut laporan dari Massachusetts Emergency Management Agency, meskipun banyak pasien yang mengalami luka serius, pasien yang dibawa ke rumah sakit selamat. Ini bisa terjadi karena cepatnya triage, pengangkutan korban, dan penanganan korban baik di tempat kejadian maupun rumah sakit.
Selain itu tenaga medis yang datang ke lokasi kejadian bisa segera bertindak. Walter Dunbar, paramedis dari Boston Emergency Medical Service, menyebutkan bagaimana latihan bertahun-tahun berperan besar dalam kesuksesan menangani korban. “Setiap orang tahu dengan tepat apa yang harus dilakukannya tanpa harus dibertahu,” katanya seperti dikutip dari laman EMS1 Report praises Boston EMS response to marathon bombing.
Tiga contoh diatas merupakan fenomena yang dibahas dalam buku ini. Pembahasan buku tidak hanya melingkupi sisi teori, namun juga bentuk nyata berupa kajian teknis yang penting bagi pembaca dari semua elemen. Karena pada dasarnya memberikan bantuan dalam suasana gawat darurat adalah menjadi tugas bersama, bukan hanya petugas kesehatan. Itulah pentingnya masyarakat awam mengetahui cara-cara penanggulangan kegawat daruratan.
Indonesia memiliki potensi munculnya kegawatdaruratan jauh lebih besar. Disamping faktor manusia, faktor alam berupa bencana alam frekuensinya terbilang tinggi. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), setiap hari rata-rata terjadi lima kali bencana di Indonesia. Dalam 10 bulan di tahun 2016 saja kejadian bencana mencapai 1.853 kali bencana (enam kali setiap hari) yang memakan korban jiwa sebanyak 351 orang. Hampir 90% merupakan bencana hidrometeorologi yaitu bencana yang dipengaruhi cuaca seperti banjir, longsor, puting beliung, gelombang pasang, dan sebagainya.
Upaya untuk mengurangi frekuensi (seringnya) dan besarnya bencana masih sangat sulit dilakukan. Oleh karena itu, hal yang paling memungkinkan adalah upaya menurunkan risiko bencana sehingga jumlah korban jiwa, kerusakan lingkungan, dan kerugian harta benda yang ditimbulkan bisa dikurangi.
Dalam sambutannya di buku ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebutkan pentingnya memasukkan elemen pemberdayaan masyarakat lokal, pemanfaatan pengetahuan dan kearifan lokal, serta pelibatan berbagai kelompok masyarakat dalam penyusunan kebijakan pengurangan risiko bencana. “Saya melihat buku seperti ini menjadi alat penyebaran informasi yang penting untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana. Terlebih-lebih menyangkut masalah yang krusial dalam menangani korban bencana yakni penanggulangan medik dan kesehatan,” katanya.
Banyak kejadian, bencana yang terjadi di suatu daerah memutus akses jalan ke lokasi bencana yang membuat daerah bencana terisolasi. Karena penduduk tak memiliki pengetahuan medik dasar yang memadai, korban yang seharusnya bisa tertolong dengan tindakan penyelamatan dasar (Bantuan Hidup Dasar, seperti diuraikan di buku ini), pada akhirnya tidak tertolong.
Bencana pada dasarnya tidak hanya terjadi akibat faktor alam. Perbuatan manusia pun bisa menimbulkan bencana. Kebakaran hutan timbul karena ulah manusia. Juga kejadian lain seperti kebakaran bangunan atau fasilitas lain, ledakan gas, pencemaran lingkungan, aksi terorisme, dan sebagainya. Sementara hal-hal yang terjadi setiap hari seperti kecelakaan lalu-lintas, banyak yang menganggapnya bukan bencana karena terjadi begitu biasa. Padahal secara kumulatif kecelakaan lalu-lintas menimbulkan jumlah korban yang begitu banyak. Selama tahun 2015, misalnya, sebanyak 27.000 orang meninggal akibat kecelakaan jalan raya atau rata-rata 73 orang meninggal di jalan raya setiap harinya. Oleh karena itu kecelakaan lalu-lintas juga termasuk bencana yang tidak bisa dianggap enteng risikonya.
Pada umumnya, ketika bencana terjadi, pihak yang paling diharapkan bantuannya adalah polisi dan masyarakat sekitar yang tidak terdampak bencana. Upaya Polri dalam menanggulangi bencana, menurut Kapolri Jenderal Polisi M. Tito Karnavian dalam sambutannya di buku ini, dilakukan melalui tiga tahapan penting, yakni Pra-Bencana dengan menitikberatkan pada upaya membangun kesiapsiagaan, Tanggap Bencana dengan mengedepankan upaya proaktif melalui respons cepat kepolisian, dan Pasca-Bencana dengan fokus utama pada pemeliharaan dan pemulihan kamtibmas.
“Meskipun sudah ada sistem kepelatihan dalam penanganan bencana, referensi-referensi yang akan meningkatkan kualitas layanan Polri dalam memberikan pertolongan pada saat bencana menjadi penting,” kata Kapolri. “Terlebih lagi dalam bidang layanan darurat medis dan kesehatan, di mana anggota polisi sering kali harus melakukannya sendiri ketika tenaga medis tidak/belum tersedia,” katanya lebih lanjut.
Menurut Kepala BNPB Willem Rampangilei dalam sambutannya di buku ini, di setiap kejadian bencana, peran kesehatan menjadi utama, terlebih pada dimensi tanggap darurat. “Permasalahan kesehatan yang sering kali muncul akibat bencana adalah adanya korban meninggal, korban luka, serta terjadinya pengungsian yang sangat memerlukan ketersediaan pelayanan kegawatdaruratan medik dan pelayanan kesehatan,” katanya. Karena itu layanan kesehatan merupakan salah satu faktor utama keberhasilan dalam menekan jumlah korban dan manusia yang terdampak dalam bencana.
Masalahnya, meskipun sudah ada sistemnya, kerap kali pihak yang paling awal menolong adalah orang yang berada di sekitar kejadian. Bantuan layanan medik kadang terlambat karena jauh, daerah bencana mendadak terisolasi, dan hambatan lainnya. Bahkan di perkotaan pun cepatnya layanan darurat medis tak secepat yang diharapkan karena terhambat kemacetan dan faktor lainnya. Sering kali ambulans baru datang satu atau dua jam setelah dihubungi, padahal korban membutuhkan bantuan hidup dasar dalam hitungan detik. Oleh karena itu betapa pentingnya kemampuan memberikan Bantuan Hidup Dasar pada korban dimiliki oleh masyarakat.
Buku ini menjabarkan secara detail bagaimana solusi dan petunjuk teknis penanggulangan medik dan kesehatan dalam situasi kegawatdaruratan dan bencana. Hal yang dibahas mulai dari apa itu bencana, faktor penyebab bencana dan prinsip-prinsip penanganannya serta risiko-risiko medisnya, bagaimana melakukan penanganan di tempat kejadian sebelum tenaga medis tiba, penangan di dalam ambulans, penanganan di rumah sakit, sistem manajemen Unit Gawat Darurat, evakuasi, penanganan korban pasca bencana, menangani pengungsi, pendidikan penanganan kegawatdarurtan dan bencana, dan lain-lain. Bahkan dibahas juga bagaimana sistem di rumah sakit harus dibangun sehingga ketika bencana terjadi dan banyak korban masuk ke rumah sakit, rumah sakit bersangkutan tidak kelebihan beban sehingga pasien-pasien sebelumnya tetap mendapat layanan dengan semestinya sementara korban bencana bisa ditangani dengan baik. Karena rinci, buku ini jadi cukup tebal (610 halaman), dan itu menjadikan buku ini sangat bernilai bagi yang memilikinya.
Buku ini ditulis oleh dua orang ahli yang berpengalaman di bidang penanganan bencana yaitu Prof. DR. Dr. Aryono D. Pusponegoro, Sp.B.-KBD/Trauma dan Dr. Achmad Sujudi, Sp.B., MHA. Buku ini layak dibaca oleh tenaga medis, dunia kampus (dosen dan mahasiswa), pimpinan dan anggota TNI dan Polri, pimpinan dan anggota Pemadam Kebakaran, Kepala Daerah mulai dari kepala desa hingga gubernur, aktivis, PNS, pengelola bisnis, organisasi masyarakat, dan masyarakat umum. Karena, bencana tak memandang status juga tak melihat kapan. Siapa pun bisa mengalami dan kapan pun bisa terjadi.