Tan Malaka (1984-1949) pada tahun 1942 kembali ke Indonesia menggunakan nama samaran sesudah dua puluh tahun mengembara. Pada masa Hindia Belanda ia bekerja untuk Komintren (organisasi komunis revolusioner internasional) dan pasca-1927 memimpin Partai Politik Indonesia yang ilegal dan antikolonial.
Ia tidak diberi peranan dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, tokoh Tan Malaka yang legendaris ini berkenalan dengan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia: Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Tetapi segara pula mereka tidak sejalan. Tan Malaka menghendaki sikap tak mau berdamai dengan Belanda yang ingin memulihkan kembali kekuasaan kolonialnya. Ia memilih jalan 'perjuangan' dan bukan jalan 'diplomasi'. Ia mendirikan Persatoean Perdjoeangan yang dalam beberapa bulan menjadi alternatif dahsyat terhadap pemerintah moderat. Dalam konfrontasi di Parlemen ia kalah dan beberapa minggu kemudian Tan Malaka dan sejumlah pengikutnya ditangkap dan ditahan tanpa proses sama sekali - dari Maret 1946 sampai September 1948. Ia juga dituduh terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai kudeta.
Dalam periode yang dibicarakan dalam jilid ketiga ini Tan Malaka masih mendekam di penjara, namun demikian ia memiliki kesempatan untuk menulis. Sementara itu para pengikutnya sekali lagi terorganisir dalam Gerakan Revolusi Rakjat. Terdapat indikasi mungkin ia akan dibebaskan. Tan Malaka di dalam sel menulis autobiografi dalam tiga jilid Dari pendjara ke pendjara. Sebuah analisis mendalam menunjukkan bahwa autobiografi Tan Malaka dapat ditafsirkan dalam berbagai cara. Dalam jilid ketiga ini terdapat pula banyak perhatian terhadap proses pengadilan raksasa yang berlangsung dari Februari-Mei 1948. Dalam proses tersebut sejumlah besar politisi terkemuka diadili. Ini merupakan proses politik unik yang tidak pernah ada taranya di Indonesia