Pascatumbangnya pemerintahan Orde Baru, telah terjadi perubahan konstitusi sebanyak 4 kali. Perubahan konstitusi tersebut, berimplikasi pada lahirnya sejumlah lembaga negara, misalnya Mahkamah konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Yudisial, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Perlindungan Anak, Komisi Penyelenggara Pemilu, Komisi Ombudsman, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan masih banyak yang lain. Bahkan, menurut catatan pemerintah ada sebanyak 87 lembaga sampiran negara atau dalam bahasa buku ini disebut State Auxiliary agency (SAA). Kehadiran lembaga negara ini bisa dibaca dlam dua tafsir. Tafsir Pertama, lembaga baru ini muncul sebagai konsekuensi logis dari tuntutan reformasi politik. Tafsir kedua bisa dibaca dalam konteks ketidakpercayaan publik terhadap kinerja institusi peninggalan rezim Soeharto. Sebagai ilustrasi kehadiran KPK merupakan respon atas keburukan kinerja lembaga kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.
Kalau demikian penjelasannya, maka kehadiran SAA merupakan fenomena menarik dalam struktur lembaga negara Indonesia. Apa lagi SAA dalam menjalankan tugas dan fungsinya merepresentasikan lembaga negara dan masyarakat. KPK adalah mempresentasikan negara dan memperkuat fungsi keppolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi. Sementara Ombudsman merepresentasikan kepentingan masyarakat. Artinya lembaga ombudsman akan selalu membela dan memperjuangkan tuntutan dan kepentingan masyarakat dalam konteks pelayanan publik yang dinilai diskriminasi dan merugikan kepentingan masyarakat. Sedangkan Komisi Yudisiaal akan memperkuat lembaga Mahkamah Agung. KY akan mengawasi perilaku jaksa dalam menjalankan tupoksinya. Kendatipun demikian, pada kenyataannya di lapangan menimbulkan gesekan dan ketegangan yang luar biasa. Misalnya, ketegangan antar KPK versus Polisi melarikan terminologi baru, yakni ‘cicak lawan buaya’. Hal yang sama juga terjadi anatar komisioner KY versus Jaksa Sarpin.
Ketegangan antara SAA dengan lembaga negara seperti kepolisian dan kejaksaan akan terus berlangsung sebagai dinamika dalam bernegara. Namun, yang paling mencemaskan dalam konflik dan ketegangan itu bila berujung pada ‘kriminalisasi’ dan kampanye pembubaran SAA. Tak bisa dipungkiri bahwa kampanye pembubaran SAA sedang berhembus kencang pada pemerintahan Jokowi. Alasannya sangat bervariasi, mulai dari alasan pemborosan uang negara, overlapping fungsi hingga alasan rivalitas antar lembaga. Kampanye ini tentunya merupakan pukulan sekaligus tantangan bagi SAA agar tetap eksis dalam struktur lembaga formal negara. Kesemua narasi ini terungkap secara jelas, kritis dan argumentatif dalam karya ini. Menariknya lagi adalah buku ini ditelaah dengan menggunakan perspektif politik dan pemerintahan. Dengan demikian, kehadiran karya ini aka mengisi kelangkaan literatur SAA sekaligus memberikan pengetahuan mendasar pada mahasiswa, dosen, politisi, birokrat, dan penggiat LSM mengenai urgensinya memahami, memperkuat, dan membelah eksistensi SAA dalam struktur pemerintahan modern dan demokratis.