Dari buku berjudul “Bujang Parewa Menggenggam Bara” ini, para pembaca dapat menemukan tiga kata kunci yang penting yaitu “Bujang Parewa”, “Menggenggam Bara”, dan “Menebar Asa”.
Pertama “Bujang Parewa” merupakan sebuah istilah yang merujuk kelompok masyarakat pinggiran dalam budaya Minang, tempat asal sang tokoh. Bujang Parewa ini adalah kelompok anak muda yang terjerumus dalam arus negatif sebagai “juvenile delinquency” atau kenakalan remaja yang terseret pergaulan bebas. Kenakalannya tentu berdampak ke sekolah. Bujang Parewa ini dikenal gurunya sebagai siswa yang sulit mengikuti pelajaran, nakal dan susah diatur, suka melawan dan berkelahi. Tentu saja dalam keluarganya, Bujang Parewa ini seringkali membuat pusing dan malu orang tua, kerabat dan lingkungan terdekatnya. Puncak kenakalannya, sang Bujang Parewa mengalami kecelakaan maut, akibat tabrakan motor. Meski pada malam hari, motor itu tidak punya lampu. Pengendara tak seorang pun mengenakan helm, apalagi SIM karena mereka masih dibawah umur. Waktu kejadian adalah menjelang ujian nasional, di saat anak-anak harusnya diam di rumah mengulang pelajaran. Untung nyawanya masih bisa diselamatkan, meski dua temannya tewas seketika.
Kedua, “Menggenggam Bara” merujuk aktivitas yang tengah digeluti oleh Fahrial Ajisman saat ini sebagai seorang eksekutif muda pada tambang batu bara di Bumi Lambung Mangkurat. Keberhasilannya menduduki jabatan puncak pada PT Jhonlin Baratama menunjukkan kiprahnya yang tidak perlu diragukan lagi dalam bisnis “emas hitam”. Sejak diterima bekerja sebagai karyawan tambang tahun 1994, Fahrial Ajisman memulai karirnya dari bawah sebagai “helper-surveyor”, kemudian berkembang menjadi manajer, direktur sampai jabatan puncak, direktur utama. Keberhasilannya menduduki jabatan puncak itu, tidak lepas dari kepercayaan sang pemilik pengalaman hidupnya sangat dinamis, bahkan dramatis, berbelok, berliku-liku “zig-zag” sehingga sangat inspiratif.