Persoalan pendidikan dapat dikategorikan menjadi dua wilayah yaitu hulu dan hilir. Secara denotatif kata hulu merujuk pada pengertian sumber, tengah, atas, pangkal, dan pusat. Secara konotatif terma hulu dapat dimaknai sebagai inti, ruh, spirit, suprastruktur, filosofis, hakikat, mental dan nilai. Sementara itu, secara harfiyah kata hilir artinya pinggir bawah, dan ujung. Dari aspek konotatif hilir berarti cabang, material, infrastruktur, praktis, fisikal, dan pinggiran. Secara paradigmatik, wilayah hulu dalam pendidikan lebih merujuk pada dimensi hakikat, filosofi dan karakter pendidikan sebagai sebuah sistem dengan berbagai anasirnya seperti hakikat manusia, ruh pendidikan, filosofi kurikulum, esensi penilaian dan metode, dan makna penilaian. Berbeda dengan hulu, dimensi hilir dalam pendidikan lebih fokus pada penerapan semua aspek hulu tersebut dalam realitas seperti pergantian kurikulum, macammacam strategi pembelajaran, format penilaian, dan bentuk infrastruktur.
Sejauh ini, kita banyak disibukkan hal-hal yang bersifat hilir dalam pendidikan ketimbang wilayah hulu. Sebagai ilustrasi, ketika terjadi perubahan kurikulum karena pergantian menteri, banyak praktisi dan pakar pendidikan merasa kebingungan dan cenderung menolak. Terma yang sering kali kita dengar, “Ganti Menteri Ganti Kurikulum”. Ungkapan ini sebenarnya cermin dari fokus kita yang cenderung “ngurusi” wilayah hilir pendidikan. Padahal, kalau berbicara dari aspek hulu, pergantian kurikulum memang sudah seharusnya dilakukan setiap saat. Kurikulum yang sudah terdokumentasikan cenderung kuno dan obsolete. Bukankah secara filosofis keberadaan kurikulum untuk memanusiakan setiap individu peseta didik dengan memaksimalkan setiap potensi yang dimiliki? Bukankah kita ingat adanya individual difefernces dalam pendidikan, berarti setiap orang hebat, unik dan istimewa di bidangnya masing-masing.
Tugas pendidikan adalah menghargai keunikan tersebut dengan cara memberikan perlakuan sesuai dengan kebutuhan tiap individu. Konsekuensi dari pandangan ini adalah “tiap individu mempunyai kurikulum sendiri”. Dengan pemahaman ini, meskipun satu angkatan dalam sebuah lembaga pendidikan, jumlah “kurikulum” sama dengan jumlah peserta didik itu sendiri. Apalagi berbeda tahun ajaran. Maka, mereka seharusnya mendapatkan kurikulum sendiri. Pandangan ini adalah merujuk pada aspek hulu dalam pendidikan. karena itu, pergantian sebuah kurikulum adalah sebuah keniscayaan. Kecenderungan berpikir “ala hilir” menyebabkan penyelesaian problem pendidikan lebih cenderung bersifat ad-hoc, fragmental, pinggiran, kurang mendalam dan sekedar tambal sulam. Akibatnya, problem pendidikan laksana vicious circle, lingkaran setan yang tidak kunjung selesai dari waktu ke waktu. Banyak praktisi pendidikan lebih senang dan puas dengan aspek wah daripada woh [Jawa]. Kata wah lebih merujuk pada aspek tampilan luar, sedangkan woh merujuk pada isi atau substansi. Hal ini mengingatkan kita pada pandanganH. Agus Salim tentang pentingnya mengedepankan politik garam daripada politik gincu. Politik garam menekankan aspek substansi yang dirasakan tiap orang meskipun tidak kelihatan. Sementara itu, politik gincu lebih menitikberatkan dimensi lahiriah tetapi spirit dan ruhnya kurang dirasakan oleh orang lain atau lingkungan. Hal ini terjadi karena kebiasaan dunia pendidikan yang cenderung menggarap sektor lahiriah ketimbang baitiniah. Akibatnya, kita kaya materi tetapi miskin substansi. Karena itu, jika dunia pendidikan menghendaki adanya terobosan baru dalam menyelesaikan problem pendidikan harus berani masuk pada domain hulu. Ini bukan berarti domain hilir tidak terlalu penting. Hanya saja, fokus pada wilayah hilir dapat menyebabkan kita tidak melihat dan menyelesaikan permasalahan pendidikan secara komprehensif dan universal.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya mengatasi problem pendidikan dengan masuk ke wilayah hulu. Hal ini antara lain tampak dari program pendidikan karakter dan pemberlakua kurikulum yang lebih menekankan aspek non-kognitif. Hanya saja, pada praktiknya antara harapan dengan kenyataan masih “jauh panggang dari api”. Hal ini terjadi lebih disebabkan oleh mindset yang dimiliki para pelaku pendidikan cenderung fixed mindset, bukan growth mindset. Mindset pertama bersifat kaku, reaktif, rutinitas, berorientasi masa lalu, problembased, pokoke paradigm, takut berubah, dan monoton. Sementara itu, ciri mindset kedua bersifat fleksibel, proaktif, berorientasi masa depan, solution-based, open-minded, membuat perubahan, kreatif, dan holistik. Secara kuantitas, jumlah pemilik fixed mindset jauh lebih banyak daripada growth mindset, bahkan menurut Rhenald Kasali perbandingannya antara 95%:5%. Karena itu, shifting paradigm harus segera dilakukan jika menginginkan perubahan secara cepat dalam dunia pendidikan. Hanya saja, mengubah mindset memerlukan waktu lama sebab mindset merepresentasikan habitus yang berjalan sekian lama. Untuk mengubah mindset lama memerlukan kesadaran diri, komitmen, tindakan, repeated action, dan muncullah habit baru. Tulisan dalam buku ini merupakan ikhtiar para penulis pada Program Doktor yang melakukan pembacaan kritis (critical reading) tentang realitas pendidikan terutama terkait dengan aspek pengelolaan. Mini-research yang dilakukan secara cepat terhadap sepuluh “lembaga pendidikan” tidak hanya difokuskan pada dimensi dzahiriyah seperti bentuk bangunan, dokumen kurikulum, jumlah pendidik dan peserta didik saja, namun juga melihat aspek bathiniyah seperti core values yang diusung oleh pengelola. Mengapa nilai-nilai inti ini penting? Sebab,nilai-nilai inti hakikatnya merupakan spirit dan ruh yang menggerakkan semua praktik pendidikan dengan semua dimensinya. Nilai pada dasarnya sama dengan karakter yang dianut oleh masing-masing lembaga.