Sebelum mengalami kehidupan dan cara hidup sufi,
al-Ghazali melihat bahwa daya manusia untuk mencapai
pengetahuan tertinggi (pengetahuan tentang Tuhan) dan
pengetahuan tentang hakikat-hakikat yang lainnya adalah akal
yaitu ketika ia sesudah mencapai kemampuan tertinggi yang
disebut al-‘Aql al-Mustafad (Akal Perolehan). Dengan akal pada
tingkat kemampuan demikian, manusia dapat berhubungan
langsung dengan akal aktif (malaikat) yang merupakan urutan
terakhir tata transendental dan sumber segala pengetahuan dan
pengaturan makhluk-makhluk di bumi. Tapi, pada akhirnya, ia
menyadari bahwa akal tidak mampu menangkap hakikat-hakikat
yang sama sekali abstrak. Ia menemukan dari pengalaman
tasawufnya bahwa yang dapat menangkap hakikat-hakikat
abstrak itu adalah al-dzawq (intuisi). Dengan intuisi hakikat
tidak hanya dimengerti, tetapi juga dihayati dan dirasakan
keberadaannya. Dengan intuisilah keyakinan yang tertinggi
dapat dicapai. Akal hanya dapat membawa manusia kepada
pengetahuan argumentatif (al-‘ilm al-burhani), sedangkan intuisi
dapat menghasilkan pengetahuan yang betul-betul diyakini (al‘ilm
al-yaqini).