登入選單
返回Google圖書搜尋
Manusia dalam perspektif pendidikan Al-Qur’an
註釋

Al-QUR’AN, MANUSIA, DAN PENDIDIKAN

Dr. Abas Mansur Tamam

 

Menurut saya, buku yang ada di hadapan pembaca ini menawarkan gagasan yang urgen, mendasar, dan sekaligus otentik dalam pendidikan Islam. Urgen karena manusia merupakan subjek sekaligus objek dan produsen sekaligus produk pendidikan. Mendasar karena persoalan paling utama dalam pendidikan adalah konsepsi tentang manusia itu sendiri. Dan, otentik karena dalam khazanah Islam tidak ada sumber pengetahuan yang mampu memberikan informasi yang akurat tentang manusia, kecuali kitab suci Al-Qur’an. Itu sebabnya, Al-Qur’an, manusia, dan pendidikan merupakan triangle yang tidak bisa dipisahkan dalam pendidikan Islam.

Pertama, aksioma bahwa pendidikan dilakukan oleh manusia terhadap manusia. Benar bahwa pendidik sesungguhnya adalah Allah sebab Dialah yang telah menyiapkan semua prangkat yang membuat manusia bisa menerima proses pendidikan, sekaligus Dia yang membimbing dan meningkatkan keberdayaan manusia. Namun, secara zahir proses itu dilakukan oleh manusia dan sekaligus yang mendapatkan manfaat darinya. Dampak dari semua proses pendidikan itu terakumulasi dalam realitas kehidupan di tengah masyarakat dan negara. Apa yang hari ini disaksikan dan dirasakan merupakan hasil dari pendidikan yang diterimanya kemaren. Jika esok hari kita menginginkan sesuatu yang lain, berikanlah ia kepada anak didik di hari ini.

Pendidikanlah yang memberikan kepada setiap anak negeri kemampuhan untuk berpikir positif dan mewarisi nilai-nilai luhur, baik agama maupun budaya. Ia akan melandasi pikiran, sikap, dan ketrampilan yang akan diaktualisasikan dalam kehidupan. Pendidikan, karena itu, menempati posisi yang urgen dan strategis dalam skala individu dan kolektif. Jika individu baik, masyarakat pun akan baik. Karena, masyarakat tidak lain dari sekumpulan individu yang terhubung satu sama lain dengan ikatan yang penting dan beragam. Pendidikan membantu setiap individu untuk bisa memperlakukan orang lain sebagai manusia dan berdasarkan akhlak yang terpuji. Pada waktu yang sama, keberdayaan pikiran dan ketrampilannya akan membuatnya mampu memberikan sumbangan yang signifikan untuk kemajuan bangsa dan negara. Dengan begitu, volume keburukan dalam kehidupan akan dapat diminimalkan, meskipun tidak hilang sama sekali, kebaikan akan melembaga, serta potensi-potensi kebaikan dapat secara optimal diekspresikan, mendapatkan ruang, dan menjadi peradaban yang adiluhung. Semua itu akan terjadi jika pendidikan dirumuskan dengan benar dan diimplementasikan dengan baik. Jika yang terjadi sebaliknya, kegaduhan, kegelisahan, kesengsaraan, dan keterbelakangan akan menjadi realitas yang menggantikan harmoni.

Dari situ, hal yang paling urgen dalam pendidikan adalah menangkap konsepsi tentang manusia sendiri. Dengan cara itu, tujuan pendidikan, kurikulum, metode, dan evaluasinya akan mampu dirumuskan dengan baik pula. Itu sebabnya, pendidikan sering disebut sebagai usaha untuk memanusiakan manusia. Mengembangkan potensi manusia atau mengembalikan manusia pada status kemanusiaannya dari penyimpangan yang terjadi merupakan program yang mendasar di dalam pendidikan. Maka, pendidikan harus membicarakan siapa sesungguhnya manusia. Tanpa itu, suatu sistem pendidikan akan kehilangan arah atau peta jalannya akan menyesatkan.

Kedua, kajian tentang manusia dalam konteks pendidikan merupakan persoalan yang paling mendasar. Pasalnya karena pendidikan berbeda dengan produksi barang yang merupakan benda mati. Desain barang yang akan dibuat semata-mata digantungkan pada konsepsi desainernya. Kegagalan produksi terjadi ketika ada kesalahan dalam menciptakan suatu bagian atau terjadi ketidakserasian antara satu bagian dengan bagian yang lain. Namun, tidak begitu dengan manusia yang ingin dihasilkan oleh pendidikan. Manusia adalah entitas yang sudah built-in dengan pikiran, perasaan, sikap, karakter, kecenderungan, dan potensi yang melekat di dalamnya.

Bukti bahwa persoalan ini merupakan hal paling mendasar adalah lahirnya ragam kajian pilosofis tentang karakteristik asli manusia sejak dilahirkan. Pada gilirannya, ragam pandangan tentang persoalan ini melahirkan perbedaan mazhab dalam pendidikan itu sendiri. Ambil saja contoh mazhab empirisme yang digagas oleh John Locke (1632-1704). Teori yang terkenal dalam mazhab ini adalah tabula rasa. Menurutnya, manusia pada awalnya memiliki jiwa yang kosong dan tidak berpengetahuan, lalu pengetahuan mengisinya. Pengetahuan didapat dari tangkapan inderawi sehingga alat-alat indera menjadi satu-satunya saluran ilmu. Pengetahuan, karena itu, adalah informasi tentang segala objek inderawi yang bersifat materi. Sesuatu yang tidak bisa diamanti oleh panca indera bukan pengetahuan yang benar sebab yang tidak bisa diamati merupakan perkara yang tidak ada. Manusia telah dihantarkan untuk menjadi tuhan yang punya otoritas menentukan kebenaran serta sesuatu itu ada atau tidak ada.

Gagasan yang dituangkan oleh Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding ini merupakan sanggahan terhadap mazhab idea yang mendalilkan bahwa manusia dilahirkan dengan membawa idea bawaan (innate idea). Bagi Locke, ketika seseorang dilahirkan, jiwa (mind)-nya dalam keadaan kosong seperti kertas yang putih bersih. Isinya adalah goresan pengalaman yang terus berakumulasi sepanjang hidupnya. Pilosofi bahwa manusia dilahirkan dalam kondisi tabula rasa menjadi dalil bahwa satu-satunya pemilik otoritas dalam membentuk profil manusia adalah pengalaman inderawi. Lingkungan di mana dia hidup merupakan labolatorium yang membentuk setiap individu sehingga bisa berbeda dengan yang lain. Maka, sekolah sebagai milieu paling utama yang menyediakan pengalaman bagi manusia benar-benar menjadi pabrik yang dapat merekayasa manusia dan masa depannya. Kreasi dan inovasi untuk menetapkan konsep manusia yang dianut oleh suatu sistem pendidikan dianggap tidak akan mendatangkan masalah terhadap perjalanan hidupnya sebab siapa sesungguhnya manusia tergantung pada rancang bangun pengalamannya itu.

Lain halnya dengan pandangan Islam. Benar bahwa secara kognitif manusia terlahir dengan tidak membawa pengetahuan. “Allah telah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa pun.” (An-Nahl [16]: 78). Meskipun begitu, manusia terlahir dengan membawa karakter yang sangat khas. Karakteristik itulah yang disebut fitrah. Secara umum, kefitrahan itu merupakan kondisi primordial yang dibawa oleh manusia sejak dilahirkan dengan komponen dan aplikasi internal yang kompatibel dengan keislaman yang diwahyukan kepada rasul-Nya Muhammad saw. Selain itu, kondisi ini bersifat laten, permanen, dan tidak bisa di-replace. “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum [30]: 30).

Lingkungan dan pengalaman yang tidak sesuai dengan karakteristik asli manusia akan menyebabkan terjadinya masalah dalam kehidupan individu dan sosialnya. Penyimpangan dari kondisi yang asli itu akan membuat crash dalam hidup manusia dan sistemnya menjadi error. Dalam aspek individu, error itu akan menciptakan kegelisahan, kegersangan hidup, dan tumbuh kembang potensi diri yang tidak maksimal. Dalam kehidupan sosial, ia akan membuatnya menjadi salah sikap dalam hubungannya dengan dunia eksternal, maladaptif, dan tidak optimal dalam memerankan tugasnya di atas panggung kehidupan. Mustahil menemukan harmoninya di alam semesta ini jika manusia mengalami pembiasan dari karakter aslinya. Itu artinya, pendidikan akan gagal memerankan tugasnya untuk menciptakan kehidupan yang ideal seandainya jati diri manusia tidak dipahami terlebih dahulu. Dari situ, pembicaraan tentang manusia menjadi persoalan paling mendasar dalam pendidikan. Jika gagal mendefinisikannya, akan gagal pula proses pendidikan yang dijalankannya.

Ketiga, konsekwensi dari semua itu adalah merumuskan siapa sesungguhnya manusia tidak bisa dilakukan secara serampangan. Diperlukan sumber pengetahuan yang bisa memberikan gambaran yang otentik tentang manusia. Tanpa epistemologi yang otentik, pemahaman manusia tentang dirinya akan menjadi dangkal, prejudis, dan salah kaprah. Itu sebabnya, terkadang manusia menghinakan diri dengan menjatuhkannya ke derajat yang serendah-rendahnya. Misalnya, mereka menyembah patung yang dibuat dari batu oleh tangannya sendiri, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan sebagainya. Nilai objek yang dipertuhankan itu sejatinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kehormatan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah dibandingkan dengan makhluk lain. “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (Al-Isra [17]: 70). Di sisi lain, banyak kasus ketika manusia mengklaim punya kapasitas yang extraordinary sehingga mengangkat dirinya ke atas kemuliaan yang semu. Mereka menjadi takabur, terkadang menganggap dirinya sebagai ras atau bangsa yang paling unggul, dan terkadang pula memposisikan dirinya berada pada maqam ketuhanan. Misalnya, karena kemajuan ilmu dan teknologinya, kaum ‘Ad menyombongkan diri sambil menantang, “Siapakah yang lebih hebat kekuatannya daripada kami?” (Fussilat: 15). Sementara itu, Fir’aun lebih pongah lagi. Dia berkata, “Wahai para pembesar, aku tidak mengetahui ada Tuhan bagimu selainku.” (Al-Qasas: 38). Maka, secerdas apa pun, manusia akan salah kaprah dalam memahami hakikat dirinya, selama didasarkan atas pengalaman inderawinya.

Perhatikan bagaimana Alexis Carrel (w. 1944) menuangkan kesimpulannya tentang manusia. Carrel memiliki kapasitas utama dirinya sebagai saintis. Canadian Medical Association Journal memuat sebuah artikel dengan judul The genius of Alexis Carrel (Cusimano, 1984). Wajar saja karena Carrel dikenal sebagai dokter bedah yang sangat inovatif, kreatif, pemikirannya orisinal, dan orang pertama yang melakukan transpalantasi dan perbaikan organ tubuh manusia. Selain itu, meskipun tidak mendefinisikan dirinya sebagai pilsuf, dia telah menghabiskan setengah perjalanan hidupnya di luar labolatorium dengan bertemu dengan berbagai tipe dan profesi orang. Setelah perjalanan panjang dalam usaha memahami manusia, Carrel menuangkan kesimpulannya dengan sebuah judul buku “Man, The Unknown.” Buku yang mendapatkan perhatian dunia itu diterbitkan dalam edisi Arab dengan judul “Al-Insan Dzalika al-Majhul.” Manusia adalah makhluk yang penuh misteri. Banyak hal dalam diri kita yang tidak dapat dikenali oleh akal dan pengalaman inderawi. Yang lebih menggemaskan, justru dengan bukunya itu, Carrel meraih penghargaan Nobel di bidang fisiologi atau kedokteran. Bahkan, Will Durant (w. 1981), penulis The Story of Civilization, sebuah ensiklopedia besar, menyebutnya sebagai buku paling bijaksana, terdalam, dan paling berharga yang pernah dia temukan dalam literatur Amerika abad 20. Hal ini menjadi bukti yang sangat otentik bahwa manusia, dengan kemampuhan dirinya saja, tidak mampu menangkap hakikat dirinya.

Jika manusia dengan kapasitas intelektualnya tidak mampu menyingkap hakikat dirinya, siapa yang bisa memberikan informasi yang utuh? Jawabannya tentu, Dia yang telah menciptakannya. Itu sebabnya, Carrel dengan bijaksana menyebutkan bahwa manusia dengan susunan mental dan fisiknya merupakan pemberian Tuhan yang luar biasa. Kesadaran bahwa manusia merupakan ciptaan Allah Swt. menjadi syarat pertama bagi terumuskannya suatu konsepsi yang otentik tentang dirinya. Menegasikan ketuhanan dalam eksistensi manusia merupakan penyakit yang mematikan bagi lahirnya kebaikan di tengah kehidupan ini. Sebab, keimanan yang saheh merupakan epistemologi yang otentik pula. Tanpa keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, dan rasul-Nya, seseorang tidak akan mendapatkan pengetahuan yang benar tentang hal-hal yang berada di luar pengamatan inderawinya. Dan, banyak persoalan tentang manusia merupakan bagian dari pengetahuan yang berada di luar objek inderawi. Syarat yang kedua adalah keyakinan tentang kebenaran sumber pengetahuan yang dibangun di atas keimanan kepada Allah Swt. tersebut. Bagi kita, sumber pengetahuan paling otentik yang datang dari Allah adalah Kitab Suci Al-Qur’an.

Al-Qur’an bukan hanya sumber hukum, tetapi juga sumber ilmu pengetahuan, termasuk tentang manusia. Perhatikan bagaimana Maurice Bucaille (2004) sampai mendapatkan hidayah karena penelitiannya tentang perbandingan antara Bibel, Al-Qur’an, dan sains modern. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an bukan hanya tidak terdapat kontradiksi, sesuatu yang lumrah terjadi dalam kumpulan tulisan orang, seperti yang terjadi di dalam Bibel, tetapi memperlihatkan kepada orang yang menganalisis dan menguji kebenarannya bahwa secara objektif ia memiliki kesesuaian dengan sains. Orang tidak bisa membayangkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang bernilai ilmiah tinggi itu adalah tulisan manusia, melihat kondisi pengetahuan di zaman Muhammad saw. Oleh karena itu, sangat sah memandang Al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang kebenarannya tidak diragukan. Kandungan ilmiah yang baru dibenarkan di zaman kita seolah menantang seluruh penafsiran positivistik. Betul-betul mandul setiap usaha untuk menafsirkan fenomena Al-Qur’an dengan hanya mengandalkan anggapan-anggapan materialistik. Jika kandungan Al-Qur’an terbukti ilmiah sekaligus menjadi bukti kebenarannya sebagai firman Allah, topik manusia di dalam Al-Qur’an juga secara otentik benar sebagai kalam Allah yang kebenarannya tidak dapat diragukan.

Dalam hal ini, ayat-ayat Al-Qur’an yang berjumlah 6.236 semuanya membicarakan dua topik besar, yaitu: berbicara kepada manusia atau membicarakan manusia itu sendiri. Semua ayat Al-Qur’an merupakan seruan Allah kepada manusia, baik secara eksplisit menggunakan seruan “Wahai manusia” atau tidak. Meskipun ada jenis makhluk lain yang merupakan bagian dari peruntukkan ajaran Al-Qur’an, yaitu jin, namun Rasulullah saw. sebagai manusia hanya menghadapi sesama manusia sebagai objek dakwahnya. Oleh karena itu, semua pembicaraan Al-Qur’an ditujukan kepadanya. Pembicaraan tentang Allah sebagai khaliq serta makhluk lain adalah pembicaraan Allah kepada manusia. Di sisi lain, Al-Qur’an sarat dengan pembicaraan tentang manusia seperti mengenai perkembangan penciptaan serta hakikat dirinya serta hubungannya dengan Allah, alam semesta, dan dengan sesama manusia. Kajian Abbas Mahmud al-Aqqad (2005), Al-Insan fi Al-Qur’an, merupakan contoh bagaimana Allah mengenalkan kepada manusia tentang hakikat dirinya. Manusia sebagai pengemban taklif, dibebani hukum-hukum agama, memiliki kebebasan dan tanggung jawab, serta terdiri dari jiwa, roh, dan jasad, merupakan contoh bagaimana manusia dapat mengenali dirinya secara individu dari ayat-ayat Al-Qur’an.

Penelitian yang dituangkan di dalam buku ini merupakan bagian dari pembicaraan Al-Qur’an tentang manusia. Al-Qur’an terkadang menyebut manusia sebagai basyar, insan/insun, nas, atau bani adam. Keempat diksi itu membicarakan manusia dalam konteks yang berbeda. Al-Hakim al-Tirmidzi (w. 320 H.) adalah ulama pertama yang secara formal mengkaji bahwa tidak ada yang sinonim (mutaradif) di dalam Al-Qur’an. Dalam bukunya yang terkenal Al-Furuq wa Man’u al-Taraduf (2005), dia menjelaskan 156 pasangan kata di dalam bahasa Arab yang memiliki makna dan nilai yang bertentangan, meskipun kelihatannya serupa. Ulama-ulama lain seperti Ibn Al-A’rabi, Al-Tsa’alibi, Ibn Al-Anbari, Ibn Hilal al-Askari, Ibn Faris, dan lain-lain melanjutkan kajian yang telah dilakukan oleh Al-Hakim. Itu artinya, penelitian tentang konteks manusia dalam keempat penyebutan tadi memiliki landasannya di dalam ilmu balagah. Allah tidak menyebut manusia dengan istilah-istilah itu kecuali sedang menceritakan aspek-aspek kemanusian yang melekat di dalam dirinya.

Keempat konteks itu diyakini menggambarkan secara utuh diri manusia secara komprehensif. Pertama, manusia sebagai basyar merujuk pada aspek biologis. Perjalanan manusia dari lemah menjadi kuat dan kembali menjadi lemah, berikut psikologi perkembangannya menjadi persoalan yang aksiomatik. Tidak disebut sebagai pendidikan kecuali pengalaman yang diberikan kepada peserta didik itu bersifat sistematis dan gradual, sesuai dengan tugas perkembangan peserta didik. “Allah adalah Zat yang menciptakanmu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan(-mu) kuat setelah keadaan lemah. Lalu, Dia menjadikan(-mu) lemah (kembali) setelah keadaan kuat dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (Ar-Rum [30]: 54). Kedua, manusia sebagai insan merujuk pada konteks individual dengan potensi positif dan negatifnya. Manusia memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual, tetapi pada waktu yang sama memiliki peluang terjerumus ke dalam keburukan ketika dirinya tidak menjalani penyucian diri (tazkiyatun nafsi). Maka, pendidikan harus mengenali potensi kebaikan yang harus dikembangkannya serta potensi keburukan yang harus disianginya. Ketiga, kata nas merujuk pada konteks sosial di mana manusia memiliki ketergantungan dengan orang lain dalam hidupnya. Pada waktu yang sama, dalam konteks inilah manusia memerankan dirinya dengan seluruh kapasitas yang dimilikinya. Optimal atau tidak perannya itu digantungkan pada kemampuhan aktualisasinya dalam kehidupan sosial. Keempat, sebagai bani adam manusia terlahir sebagai makhluk yang religius, bertauhid, beretika, dan berestetika. Hanya dengan kesungguhan dalam memerankan dirinya sebagai anak Adam, manusia akan memiliki nilai di hadapan manusia yang lain dan di sisi Allah. Sebaliknya, seluruh kemampuhannya akan menjadi sia-sia jika aspek ini absen dalam hidupnya.

Penelitian ini penting untuk terus dikembangkan karena disadari bahwa sistem pendidikan nasional kita saat ini masih berkutat pada pengelolaan terhadap aspek kognitif manusia. Artinya, ia baru fokus pada sebagian aspek insaniah. Apakah dengan keberdayaan intelektual semata seseorang bisa dijamin berhasil dalam hidupnya? Di sini letak persoalannya. Kajian tentang otak manusia, dimana otak kirinya diasosiasikan sebagai letak kecerdasan intelektual, otak kanannya sebagai kecerdasan emosional, dan kecerdasan spritualnya melingkupi keseluruhan otak, kini mulai dipertimbangkan.

Alexis Carrel sejak lama merisaukan persoalan ini. Menurutnya, keberhasilan hidup seseorang masih dimungkinkan terjadi ketika dia kehilangan sebagian dimensi hidup, seperti tidak memiliki sense keindahan. Namun, keberhasilan itu mustahil dicapai ketika tidak memiliki keperibadian akhlak. Menurutnya lagi, “Aneh bahwa pembiasaan melakukan kebaikan tidak diajarkan di sekolah-sekolah umum. Padahal, bukankah aksiomatik, jika ia merupakan kebutuhan mendesak untuk kesuksesan hidup, baik dalam kehidupan peribadi maupun dalam bermasyarakat?” (Carrel. 1958. 227). Mutlak bahwa semua aspek kemanusiaan itu harus dikelola oleh lembaga pendidikan jika serius ingin menghasilkan individu dan masyarakat yang lebih baik.

Itu sebabnya, kini muncul kesadaran tentang holistic education agar pendidikan dapat mengembangkan potensi manusia seutuhnya yang meliputi aspek intelektual, emosional, fisik, sosial, estetika, dan spiritual sehingga kepala, hati, dan tangannya mendapatkan pembinaan di sekolah. Pertanyaannya, apakah pendidikan yang holistik itu telah dirumuskan secara komprehensif? Apakah telah diadopsi sebagai sistem pendidikan nasional? Apakah telah lahir kesadaran bersama untuk mengimplementasikan dalam proses pendidikan?

Dalam batas-batas tertentu buku telah berusaha untuk menurunkan gagasan Al-Qur’an tentang manusia itu ke dalam tujuan-tujuan pendidikan. Hemat saya, kajian ini tidak boleh berhenti pada garis wacana. Gagasan itu seperti bola salju yang akan semakin besar dan berdaya jika terus bergulir. Jika berhenti, ia pun akan sirna. Topik-topik yang berkaitan dengan pendidikan Qur’ani seperti ini harus terus diangkat, didiskusikan, dan dikembangkan secara konseptual dan operasional. Jika terus bergulir, ia akan semakin lengkap sebagai konsep, semakin matang sebagai ilmu, dan akan semakin aplikatif dan operasional. Insyaallah pada waktunya ia akan diadopsi dan dipraktikkan baik pada lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat maupun oleh pemerintah. Wallahu al-musta’an.[]

 

Referensi:

Al-Hakim, Muhammad bin Ali al-Tirmidzi. (2005). Al-Furuq wa Man’u al-Taraduf. Cairo: Maktabah al-Iman

Bucaille, Maurice. (2004). Al-Qur’an Al-Karim wa Al-Taurat wa Al-Injil wa Al-Ilmu Dirasat al-Kutub al-Muqaddasah fi Dhaui al-Ma’arif al-Haditsah. Cairo: Maktabah al-Madbuli

Carrel, Alexis. (1958). Ta’amulat fi Suluki al-Insan: al-Hadarah al-Haditsah fi al-Mizan. Cairo: Maktabah Mishr li thabaah al-ofset

Carrel, Alexis. (1980). Al-Insan Dzalika al-Majhul. Terj. Syafiq As’ad Farid. Beirut: Maktabah al-Ma’arif

Cusimano, Robert; Cusimano, Michael D. (1984). The genius of Alexis Carrel. Canadian Medical Association journal · December 1984

Locke, John. (2017). An Essay Concerning Human Understanding. Jonathan Bennett