Pernahkah menghadapi curahan hati seorang siswa yang mengajukan mutasi, karena alasan akademik? mungkin jarang terjadi. Tetapi, dalam tahun-tahun terakhir, sudah mulai tampak gejalanya. Setidaknya ada beberapa anak yang mengajukan mutasi ke luar dari madrasah/sekolah, dengan alasan hendak serius dalam bidang yang digeluti, hendak menjadi atlet salah satu cabang olahraga, dan pengalaman terbaru, adalah ada yang bermaksud untuk melanjutkan penguasaan hafalan Qur’an (tahfidz) di sebuah pesantren. Mereka berani mengundurkan diri dari lembaga pendidikan formal, untuk mengejar kompetensi atau keahlian khusus yang mereka impikan. Fenomena yang dahsyat, adalah berhenti kuliah, seperti yang dialami Bill Gates, karena merasa tidak nyaman di lembaga pendidikan, dan langsung terjun dan menekuni hobi sendiri, sesuai minat, bakat dan kemampuannya.
Kejadian ini, hendaknya tidak harus diartikan kasuistik semata. Karena, bisa jadi, data itu adalah fenomena faktual untuk hari ini, dan ke depan. Anak milenial, lebih berorientasi pada pengembangan diri, dan minat pengembangan karier yang fokus di masa depannya. Alhasil, dari kesadaran dan pemikiran itu, pusat bimbingan karier, pengembangan diri, atau komunitas minat, bakat, dan kemampuan, mulai bermunculan di tengah masyarakat kita. Terakhir (2020), ada seorang tenaga pendidik, yang mengeluarkan anaknya dari sekolah formal dan mengambil jalur program paket (sekolah alam), hanya untuk menyalurkan minat, bakat dan kemampuan anak yang tidak terakomodir di lembaga pendidikan formal.
Bila kondisi dan tantangan serupa, tidak terbaca oleh para pengelola pendidikan, dan malahan tetap terlena dengan program konvensional, bukan hal mustahil lembaga pendidikan itu, akan ditinggalkan masyarakat. Sehubungan hal itu, gagasan yang ditawarkan dalam buku ini, adalah mengajak untuk melakukan reorientasi layanan pendidikan, berbasis minat, bakat, dan kemampuan, khususnya sesuai dengan kebutuhan anak milenial atau Gen-Z serta tantangan zaman.