登入選單
返回Google圖書搜尋
The Development of Islamic Thought on Multiple Perspectives
註釋

Memasuki abad ke-20 kajian ilmu keislaman menjadi era

dibukanya pemikiran dari berbagai sudut pandang. Hal ini, didukung

dari beberapa temuan-temuan baru sains nyata-nyata menantang doktrin

dan gagasan-gagasan keagamaan klasik. Sehingga, responsnya pun

beraneka rupa. Misalnya, beberapa kalangan mempertahankan doktrindoktrin tradisional, beberapa yang lain meninggalkan tradisi, dan

beberapa lagi yang merumuskan kembali konsep keagamaan secara

ilmiah. Seorang Ian G Barbour (2000) melalui empat tipologi dialog sains

dan agama. Pertama, tipologi konflik, yakni hubungan antara sains dan

agama tidak mungkin dipertemukan, bahkan terdapat permusuhan dan

pertempuran hidup-mati.

Tipologi kedua, independensi, tipologi itu berpandangan bahwa

antara sains dan agama bisa hidup tenteram dan berdampingan jika

masing-masing saling konsentrasi pada wilayahnya sendiri-sendiri.

Masing-masing kelompok diandaikan harus mempertahankan "jarak

aman"-nya, tidak diperkenankan melangkah keluar "pagar"-nya. Sebab

keduanya melayani fungsi yang berbeda, serta menjawab persoalan yang

berbeda pula dalam kehidupan umat manusia.

Tipologi ketiga adalah dialog. Yaitu tipologi yang berupaya mencari

pembandingan-pembandingan tertentu, agar persamaan dan perbedaan

metode yang digunakan oleh masing-masing dapat ditunjukkan. Contoh

kasus dalam tipologi ketiga ini yaitu model konseptual dan analogi dalam

memberi penjelasan mengenai suatu objek. Tipologi keempat adalah

integrasi. Yaitu model tipologi yang berupaya mencari titik temu antara

penjelasan-penjelasan yang ada dalam sains dan agama. Integrasi tidak

harus menyatukan atau bahkan mencampur adukkan, namun cukup

memadukan untuk mencari kesesuaian antar keduanya.

Jika kita melihat dalam tradisi Islam (baik itu Al-Qur'an maupun

Hadits), tidak ditemukan suatu terma yang memisahkan antara ilmu dan

agama. Di dunia Islam ide sains (ilmu) include dalam agama, atau dengan

kata lain sains Islam lekat dengan wahyu. Bahkan dalam Islam, seorang

muslim dituntut memikirkan dua masalah sekaligus yakni masalah

duniawi dan ukhrawi. Hal ini menegaskan bahwa penguasaan terhadap

dunia (ilmu & harta) harus selaras dan seimbang dengan pengusaan

terhadap urusan ukhrawi (Agama). Keselarasan inilah yang pernah

dilakukan oleh intelektual muslim masa lalu, sebut saja Ibnu Sina, Ibnu

Rusyd dan Ibnu Khaldun. Ketiganya telah menerapkan sistem keilmuan

terpadu yakni tidak hanya menguasai satu disiplin ilmu pengetahuan.

Sayang dalam muslim sekarang ini masih sedikit yang mewarisi tradisi

intelektual tersebut.

Sumber utama dalam kajian islam adalah Al-Qur’an dan AlSunnah. Tentu melalui proses ijtihad dengan menggunakan berbagai

pendekatan dan metode memberi inspirasi bagi munculnya ilmu-ilmu

yang ada pada lapisan berikutnya yaitu lapisan ilmu-ilmu keislaman

klasik. Dengan cara yang sama, pada abad-abad berikutnya muncullah

lmu-ilmu keislaman (religius studies), sosial (social sciences) dan humaniora

(humanities), dan berujung munculnya ilmu-ilmu dan isu-isu kontemporer

(natural sciences) pada lapisan berikutnya (Amin Abdullah, 2006).

Hadirnya acara International Confrence on Islamic Thought (ICIT)

dengan Tema : The Development Of Islamic Thoughts on Multiple

Perspectives bagian dari ikhitiar IAI Al-Khairat Pamekasan melakukan

kajian Islamic studies untuk merespon perkembangan pemikiran Islam

dari akademisi baik dosen, peneliti dan mahasiswa yang tertarik mengkaji

isu-isu kajian keislaman dari berbagai sudut pandang dimasa yang akan

datang. Dengan menghadirkan beberapa para narasumber dari beberapa

Negara yang tentu sesuai dengan exspert (kepakaran), di antaranya: Dr.

Haji Hambali Bin Haji Jaili (Unissa Brunai Darussalam), Dr. Mohd Shahid

Bin Mohd Noh (University of Malaya Malaysia), Dr. tuan Haji Toifur

(ketua Sewan Wakaf Singapura) dan Prof. Hamidullah Marazzi (Hamadan

Institute of Islamic Studies India)

Harapan dari out put dari acara ICIT mampu mendongkrak tradisi

kajian islam yang mengarah pada Hadlarah an-nash (budaya teks), hadlarah

al-’ilm (sosial, humaniora, sains dan teknologi) dan hadlarah al-falsafah (etik

emansipatoris). Amin Abdllah mengatakan wilayah Hadlarah al-’ilm

(budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan sain dan

teknologi, tidak akan punya ”karakter”, dan etos yang memihak pada

kehidupan manusia dan lingkungan hidup, jika tidak dipandu oleh

hadlarah al-falsafah (budaya etik emansipatoris) yang kokoh. Sementara itu,

hadlarah an-nash (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks)

dalam kombinasinya dengan hadlarah al-’ilm (sain dan teknologi).

Sumbangsih pemikiran pada International Confrence on Islamic

Thought yang diikuti dari kurang lebih 111 peserta dari berbagai

Perguruan Tinggi tanah air , yakni para dosen dan peneliti untuk ikut

serta menyampaikan ide ide cemerlang sesuai dengan disiplin dan sudut

pandang masing masing. Ada enam kajian yang dijadikan pijakan

berfikir, di antaranya: Islamic Education, Islamic Education and

Management , Psychology Guidance and Counseling, Al-Qur’an and

Tafsir, Islamic Culture dan Islamic Law & economy