Martin Heidegger menolak istilah “eksistensialisme” untuk dirinya. Namun, Alparslan Açikgenç mencoba mempertahankan ide bahwa Heidegger haruslah digolongkan sebagai seorang eksistensialis, dan tujuan studinya ini sesungguhnya adalah untuk menguji Heidegger dari perspektif eksistensialisme. Di sisi lain, karya ini juga mempresentasikan perspektif filsafat tertentu dalam Islam yang kita sebut “eksistensialisme Islam”. Gerakan filsafat eksistensialisme di dunia Muslim pertama kali dimulai dengan munculnya pemikiran wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang mencapai puncaknya di tangan Mulla Sadra melalui seorang sufi-filsuf kenamaan, Ibnu ‘Arabi.
Eksistensialisme Islam merupakan sebuah upaya untuk memahami realitas batin dari Ada (Wujud/Being). Gerakan filsafat ini, seperti yang direpresentasikan oleh Sadra, lahir dari perdebatan tentang esensi dan eksistensi, tentang mana yang termasuk Realitas/Hakikat. Perdebatan yang sama, tentunya, juga menjadi topik utama kajian dalam eksistensialisme modern, sebagaimana dieksposisikan oleh Heidegger. Maka, kita diarahkan pada satu persoalan: dalam hal apa Sadra dan Heidegger, sebagaimana yang diuji dalam kajian ini, bisa dipandang sebagai sosok eksistensialis? Açikgenç mengujinya melalui metode paralelisme sedemikian rupa sehingga ia kemudian memperoleh suatu hasil yang menawan: ontologi komparatif antara filsafat Sadra dan Heidegger.