HUKUM SAKSI DALAM PERKAWINAN ISLAM
PENULIS: Ahmad Rofi’i Harahap, S.Sy., MH. dan Dr. NURHADI, S.Pd.I., S.E.Sy., S.H., M.Sy., MH., M.Pd.
ISBN : 978-623-251-612-0
Terbit : Maret 2020
Sinopsis:
Pelaksanaan pernikahan diantara salah satu syarat pernikahan adalah keberadaan dua saksi, tetapi untuk menunjuk seorang saksi, itu tidak dapat dilakukan dengan sembarangan seperti menunjuk saksi yang jahat. Menurut ulama mayoritas, adalah tidak sah untuk menikah di bawah saksi yang jahat karena orang itu bukan orang yang adil. Saksi dalam perkawinan ini sangat penting, karena menyangkut kepentingan keharmonisan rumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak-anak, sehingga tidak ada kemungkinan seorang suami menyangkal putranya yang lahir dari istrinya. Agar tidak meninggalkan keturunan (nasb) dan untuk menghindari fitnah (prasangka buruk). Imam' AlaUddin berpendapat bahwa sah untuk menikah di bawah saksi yang kurang baik untuk hal-hal berikut alasan: pertama, Hukum Ashal; Pernikahan tidak akan terjadi jika tidak ada saksi, tetapi dalam hal ini sifat keadilan tidak diperlukan tetapi tujuannya hanya untuk memberi tahu publik. Kedua, Hukum Akal (ra'yun); Bahwa jika orang kurang baik berasal dari populasi / wilayah setempat maka ia secara sah menjadi saksi pernikahan. Ketiga, perkawinan terjadi di berbagai tempat, baik di desa maupun di daerah terpencil, jika hanya untuk mengetahui secara langsung apakah saksi itu adil atau tidak, itu akan memberatkan dan merepotkan. Karena itu, cukup dengan melihat penilaian umum saksi, tanpa harus mengetahui detail apakah dia pernah melakukan dosa besar atau tidak. Imam 'Alauddin mengambil sumber hukum dari al-Qur'an, Hadits, dan Istihsan. Berdasarkan metode tersebut, ijtihad yang digunakan oleh imam 'Alauddin isIstihsan
Happy shopping & reading
Enjoy your day, guys