Perubahan sosial dalam masyarakat terjadi begitu cepat, sedangkan hukum yang mengatur berjalan lambat. Hal ini dapat dipahami, sebab hukum (dalam hal ini hukum Islam) dibuat untuk merespon perubahan sosial dalam masyarakat. Jika demikian keadaannya, maka sangat potensial ada kondisi sosial dalam masyarakat yang selalu membutuhkan landasan hukum keagamaannya. Di sinilah diperlukan sebuah upaya untuk selalu mengkontekstualisasikan antara Islam dengan perubahan sosial yang terjadi. Ijtihad adalah upaya yang tepat untuk menjawab ketertinggalan hukum terhadap perubahan sosial yang terjadi. Ijtihad yang dimaksud adalah mengeluarkan segala upaya dan memeras segala kemampuan untuk sampai pada satu hal dari berbagai hal yang masing-masing mengandung konskuensi kesulitan (masyaqqah). Dalam konteks ijtihad ada sebuah metode yang dikenal yakni Tahqiq al-Manat.
Tahqiq al-manat sendiri sebagaimana Al-Tufi dipahami sebagai penetapan ‘illat hukum asl kepada hukum far‘ atau penetapan hukum yang jelas kepada hukum yang masih buram. Metode ijtihad ini dalam praktiknya telah diimplementasikan oleh dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU melalui Lembaga Bahtsul Masail (LBM) dan Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT). Dalam bidang ekonomi, LBM NU maupun MTT
Muhammadiyah telah mempraktikkan ijtihad Tahqiq al-Manat dalam memutuskan persoalan-persoalan ekonomi keumatan yang muncul belakangan. Buku ini membandingkan fatwa-fatwa ekonomi antara LBM NU maupun MMT Muhammadiyah. Ijtihad Tahqi>q al-Manat antara NU dan Muhammadiyah sebagaimana dibahas dalam buku ini adalah bagian dari upaya agar ajaran Islam bisa tetap relevan dengan zamannya. Hakikat tahqiq al-manat merupakan subkajian dalam pembahasan kias oleh para pakar bidang usul fikih. Tahqiq al-manat merupakan “Jembatan penghubung” antara asl atau kasus yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadis, dengan far‘ atau kasus baru yang belum mendapatkan kesimpulan hukum dalam al-Qur’an dan hadis. Tahqiq al-manat secara terminologi dipahami sebagai tipologi ijtihad dengan mengedepankan pengetahuan akan ‘illat atau al-mafhum al-syar‘i li al-mustalah (subtansi objek hukum) pada as}l, selanjutnya mengidentifikasi dan menyesuaikan ‘illat atau mafhum tersebut pada far‘ serta menyatukan keduanya pada hukum yang sama.
Pada konsep ijtihad NU dan Muhammadiyah, memang tidak didapati satupun istilah ijtihad tahqiq al-manat. NU hanya menyebutkan dalam pedoman fatwanya, bahwa dalam penetapan fatwa terlebih dahulu melihat kutub mu’tabarah. Ada tiga prosedur baku dalam metode penetapan sebuah hukum di Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Nahdatul Ulama, yaitu, pertama, qauly yang berarti pendapat. Kedua, ilhaqi yang berarti analogi. Ketiga, manhaji yang berarti metodologis. Sedangkan pada Muhammadiyah sendiri terdapat tiga prosedur baku dalam ijtihad. Pertama: ijtihad bayani: yaitu menjelaskan teks al-Quran dan hadis yang masih mujmal atau umum, atau mempunyai makna ganda, atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya, kemudian dilakukan jalan tarjih.
Kedua, ijtihad qiyasi yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak di jelaskan oleh teks al-Quran maupunhadis. Ketiga, Ijtihad Istislahi yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nasnya secara khusus dengan berdasarkan illat, demi untuk kemaslahatan masyarakat. Berdasarkan analisa penulis sebagaimana yang telah diuraikan dalam buku ini, pada NU dengan metode pengambilan fatwanya seluruh fatwa menerapkan tipologi ijtihad tahqiq al-manat. Sementara Lembaga fatwa Muhammadiyah tidak seluruhnya menggunakan ijtihad ini secara maksimal. Berdasarkan hal ini, penulis memprediksi bahwa pada masa yang akan datang pun, fatwa NU dan Muhammadiyah akan memiliki pola kecenderungan penggunaan metode sebagaimana tergambar di atas, yakni dominasi penggunaan metode ijtihad tahqiq al-manat dalam fatwa masing-masing walaupun belum efektif sesuai mekanismenya.
Pada akhirnya, ijtihad dapat dikatakan memiliki peranan yang sangat strategis untuk menjawab setiap persoalan umat yang datang belakangan dalam kehidupan umat manusia. Tanpa adanya ijtihad, umat Islam akan mengalami keterbelakangan hukum karena perubahan sosial selalu akan melahirkan masalah-masalah baru. Sedangkan hukum yang mengaturnya berjalan secara lambat. Keberadaan ijtihad maupun kajian tentangnya seperti halnya tercermin dalam buku ini harus dapat diapresiasi dengan baik demi terciptanya ajaran Islam yang mampu menjawab setiap persoalan zaman.