Jika apa yang terjadi di atas panggung ketika ludruk berlangsung adalah ludruk pertama dan yang ada di kepala pemirsa ketika menontonnya adalah ludruk kedua, cerita-cerita dalam buku ini adalah sesuatu sebelum ludruk pertama. Cerita-cerita ini berada tepat di antara krobong dan panggung, dalam perjalanan dari depan papan gedripan ke hadapan para penonton.
Cerita-cerita ini melompati proses nyebeng dan sepelan sehingga muncul dalam wujud yang begitu berbeda dengan yang berlangsung di atas panggung. Ada adegan-adegan baru yang menyembul begitu saja, ada hantu-hantu dan malaikat-malaikat yang berkeliaran di mana-mana, ada ikan yang berenang-renang, ada keganjilan ala film kartun, dan seterusnya. Di atas itu semua, yang lebih mencolok ialah bahwa cerita-cerita ini hadir dengan bahasa yang berbeda: bahasa Indonesia dalam tulisan, alih-alih bahasa Jawa Arek dalam lisan. Seperti pula kata handphone dan listrik bisa muncul di panggung ludruk yang berlatar masa beberapa abad sebelum hari ini, maka sejumlah kata yang hanya ada pada hari ini juga bertebaran dalam cerita-cerita di buku ini, semacam anakronisme yang disengaja.