Menulis seharusnya menjadi kesadaran dan kebutuhan bagi setiap
mereka yang mengklaim dirinya sebagai ilmuan, intelektual, maupun
profesional. Namun realita penulisan di kalangan akademisi sebatas
keterpaksaan. Mereka menulis dipaksa oleh aturan kenaikan jabatan/
pangkat, bonus, angka kredit, proyek, dan lainnya.
Menulis sebenarnya tergantung kemauan dan bukan sekedar
keinginan. Ribuan orang ingin menulis, tetapi realita cuma beberapa
orang yang mau menulis. Puluhan sertifikat penulisan diperoleh dari
pelatihan penulisan. Namun kalau tidak mau atau tidak langsung
praktik menulis, maka sertifikat itu cuma sebagai lipstick belaka.
Tulisan pustakawan Universitas Muhammadiyah Malang ini
merupakan bukti keberanian untuk maju. Berani menulis itu sudah
menang dari sekian ratus orang yang takut penulis. Kalau sekarang tidak
menulis dan setahun lagi tidak menulis berarti kemandegan dan bukan
kemajuan. Dimana letak jiwa Muhammadiyah untuk berkemajuan
minimal dalam konteks penulisan ini.