Keberadaan suatu korporasi tidak terlepaskan dari kehidupan masyarakat yang justru dapat berdampak negatif, yakni melakukan berbagai tindak pidana. Untuk menghadapi maraknya tindak pidana korporasi dewasa ini, telah dilakukan upaya penanggulangan, yakni dengan mengoptimalkan kebijakan kriminal (criminal policy) sebagai upaya rasional dari masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana yang terjadi, salah satunya dengan menggunakan kebijakan hukum pidana (penal policy). Kebijakan formulasi mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan khusus (lex spesialis) di Indonesia dapat dikatakan inkonsisten, tidak harmonis, tumpang tindih, tidak sinkron atau tidak terintegrasi antara ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain (diatur secara parsial) sehingga mempengaruhi aplikasi dan eksekusinya dalam praktik berhukum di Indonesia.
Buku ini menguraikan kebijakan kriminal sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan; kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy); tahap-tahap fungsionalisasi kebijakan hukum pidana, pengertian korporasi dalam ilmu hukum pidana dan permasalahan kebijakan formulasi sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang tersebar lebih dari 120 peraturan perundang-undangan khusus di luar KUHP di Indonesia baik yang sudah maupun yang belum terkodifikasi. Hal ini dibagi ke dalam 3 (tiga) periode, yakni periode tahun 1950 - 1980an (20 undang-udang), a periode tahun 1990 - 2000 (35 undang-udang), dan periode tahun 2000 - 2017 (lebih dari 65 undang-udang) serta pada Rancangan KUHP versi tahun 2015, Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi dan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.