Bertahan sebagai pengungsi di negara sendiri tidaklah mudah. Ini dialami oleh komunitas Syiah di Sidoarjo dan komunitas Ahmadiyah di Mataram. Selain harus menghadapi pelbagai tekanan arus dominan mayoritas Muslim yang berpahamkan Sunni, akibat adanya perbedaan interpretasi teks kitab suci dalam agama Islam, praktik-praktik keber-Islam-an, dan gesekan konflik politik ekonomi pada aras lokal, mereka harus menghidupi diri untuk bertahan hidup mencukupi keperluan harian mereka di tempat pengungsian selama bertahun-tahun.
Dengan memaparkan sejarah munculnya Syiah dan Ahmadiyah, konflik lokal yang terjadi, dan narasi kedua komunitas Muslim tersebut, terutama strategi mereka bertahan hidup, buku ini mengkritik konsep ketahanan sosial yang selama ini cenderung digunakan dalam perspektif developmentalistik; menggunakan konsep modal sosial sebagai bagian dari strategi bertahan. Sebaliknya, tim penulis justru menggunakan ketahanan sosial untuk melihat strategi kedua komunitas tersebut dalam memperjuangkan pengakuan, yaitu pemenuhan hak-hak dasar warga negara dan intervensi negara untuk melindungi minoritas dan membentuk masyarakat multiagama yang toleran.
Lebih jauh, secara praktis, studi ini mengajukan rekomendasi kebijakan kepada lembaga-lembaga negara dan rekomendasi gagasan kepada stakeholders tentang kemungkinan metode reintegrasi pengungsi komunitas dan pengelolaan potensi konflik kekerasan antara kelompok minoritas agama dengan kelompok arus utama yang berbeda.