Sebagian besar Anak Indonesia mengenal syair karena mengenal lagu terlebih dahulu. Adanya PAUD, adanya TK bahkan sampai SD, anak-anak lebih didekatkan gurunya dalam lagu ketimbang syair. Itulah sebabnya Dyah Susilowati SPd yang dulu kanak-kanak, kini jadi pendidik pun perlu diyakini lebih awal mengenal Lagu Desaku karya Libertya Manik (L Manik) yang menjadi lagu nasional anak-anak ketimbang syair/puisi Desaku karya Dyah Susilowati itu sendiri.
Judul Antologi Puisi miliknya adalah Pendar Desaku. Inspirasi terciptanya puisi Desaku bisa saja karena adanya lagu Desaku karya L Manik itu tadi. Jika syair lagu Desaku amat kristal memapar tentang alam permai selalu merindu ayah bunda dan handai taulan, maka puisi Desaku karya Dyah Susilowati menebar lebih luas tentang kokok ayam, panen padi, air sungai jernih, embun daun, burung bebas, sampai rasa bahagia dilengkapi ungkap Syukur Ke-Ilahiannya. Memang pada awalnya selalu saja beda tipis antara syair lagu dengan syair untuk puisi.
Dyah Susilowati rupa-rupanya amat waskita ketika harus mengeksplore tentang alam sekitarnya. Tarohlah ada puisi berjudul Kebunku, Gunung, Embun Pagi, Alamku, Bumi Indah, Pesan Hijau, Hutan Yang Indah, Jarak, dan Semangat Pagi. Menilik puisi-puisinya, Dyah Susilowati memang bocah nDesa yang dekat dengan pertanian gunung. Tetapi ternyata Dyah Susilowati juga pengagum alam yang jauh dari lingkungannya, seperti puisi berjudul Pantai.
Pada jejeran puisi lainnya, Dyah Susilowati cukup kebak membeber tentang nilai-nilai rasa dan fikirnya yang lain. Hal itu terpampang pada puisi berjudul Generasi Merah Putih, Pahlawan Modern, Pahlawan, Di Balik Kobaran Semangat Juangmu, Untukmu Pahlawan Indonesiaku, Pengorbanan Pahlawan, Generasi Muda, dan puisi Jiwa Muda Indonesia, nampak benar Ia nasionalis. Tetapi ternyata tidak berhenti disitu. Dyah Susilowati juga mampu mempersonifikasikan berbagai benda menjadi seperti kita, dan memetaforakan berbagai kita seperti hal lain diluar kita, seperti pada puisi Semangat Meraih Cita-cita dan puisi Ilmuku Adalah Bekalku.
Membaca kumpulan puisi Pendar Desaku memang seperti meneropong hati dan wawas pikir Dyah Susilowati. Ia cukup jujur ketika matanya melihat, telinganya mendengar, hidungnya menghirup, lidahnya mengecap, raba tangannya, bahkan sampai daya baca perasaannya merenung.